========== !!! ==========
baca part 3 di sini
========== !!! ==========
judul : pilihan
pengarang : VAP
tipe : cerbung
========== !!! ==========
“ Sudah diputuskan?”
“ Sudah “ jawabku singkat sambil bersedekap menghangatkan diri dan melirik kesekitar mengusir gelisah. Embun masih belum menguap saat aku berjanji bertemu Ryan pagi ini. Di pintu 4 Ruang Komunikasi Bersama. Masih dengan pakaian olahraga, dan yang pasti belum mandi. Dengan segala macam peraturan di Sekolah ini, pagi hari setelah olahraga dan sebelum makan pagi adalah waktu yang berpengawasan rendah. Semua sibuk mempersiapkan diri untuk sekolah. Tak akan ada yang terlihat berkeliaran tanpa tujuan, kecuali untuk pagi ini; aku dan Rian.
“ Kamu yakin? ” Ryan menggeser posisi kacamatanya dengan sebelah tangan. Reflek yang tanpa disadarinya selalu dilakukan jika dalam keadaan tidak nyaman. Dan tentunya saat ini dia sanggat tidak nyaman. Ryan berdiri dengan menopangkan berat badan ke kaki kanan, agak membungkuk, mencoba mensejajarkan kepalanya dengan mataku. Profil yang terlihat jelek karena seharusnya dia bisa sangat keren jika berdiri tegap dengan proporsi tinggi badan yang dimilikinya itu.
“ Sudah aku putuskan “
“ Masih ada waktu untuk mengubah nya “
“ Aku sudah memutuskan “ jawabku kali ini dengan nada yang sama pastinya dan menatap tepat ke mata Ryan yang langsung mencengkram mataku dalam. Menatap lama, mencari keraguan yang mungkin akan ditemukannya. Aku bertahan. Tidak menambah atau mengurangi tatapan ku. Mencoba mempertahankan dalam kepastian yang sama. Dan relatifitas Einstein langsung terbukti, saat waktu yang hanya beberapa detik ini tiba-tiba terasa sangat lama sebelum terdengar helaan nafas menyerah Rian yang menegakkan tubuhnya dan membuang pandangan sesaat.
“ Apa? “
“ Tali “
“ Tali?!? “
“ Yap.. Tali.. “
“ Dibanding..?”
“ Silet dan Racun serangga “
“ Silet dan racun serangga? Cuma itu? Apa tidak ada pilihan yang lebih...? “
“ Lebih apa..? ” selaku langsung memutus kalimat Ryan yang dia ucapkan dengan nyaris tidak mempercayai pendengarannya.
“ Pistol, OD, jarum suntik kosong, terjun dari tower, menabrakkan diri ke bus, membakar diri atau lebih apa yang kamu maksud..? Tali, silet dan racun serangga memang lebih konservatif, tapi lebih sederhana dan dapat ditemukan dimanapun saat ini. Tak perlu mencarinya khusus, dan akan lebih sulit melacaknya nanti..” terangku dalam satu helaan nafas.
Ryan kembali menatapku skeptis beberapa saat, dan aku menatapkan balik dengan kepastian yang sama.
“ Dimana? “ tanyanya datar. Tapi aku tak bisa menyembunyikan senyum kali ini. Berarti Ryan menyetujui nya dan siap membantu aku.
“ Tengah panggung “
“ Pastii..? “ nada suaranya setengah menggoda dengan satu alis naik saat bertanya. Dan aku tersenyum makin lebar.
“ Percaya pada ku “
“ Mana bisa aku percaya dengan orang yang berniat menggantung dirinya di tengah panggung..!“ dengus Ryan sebal. Dan senyum ku terurai menjadi tawa cekikikan.
“ Thanks a lot “ ujar ku sambil melangkah mundur. Cukup sudah. Ryan pasti akan menjalankan bagiannya dengan sebaik-baiknya.
“ Ren..! “ panggilnya sebelum aku berbalik pergi.
Ryan tak pernah lagi memangil aku Ndut atau Rendut setelah kejadian itu. Sore di hari Sabtu. Dia melihatku keluar menunduk setengah berlari dari rumah Pak Rafal. Ryan mengikuti ku ke sudut terjauh lapangan bola. Menemukan aku dengan muka sekeras batu dan dikotori air mata. Dia duduk disampingku tanpa tanya, menemani dalam diam sambil makan kacang. Dan dua puluh menit kemudian barulah caci maki keluar dari mulut ku. Tak berhenti untuk orang yang selama ini aku anggap mengerti diriku. Orang yang kupercaya menjadi tempat mengadu. Pengertian dan perhatiannya yang selama ini ku anggap seperti Bapak kepada anak, ternyata tidak. Entah aku yang terlalu naif bisa berpikir seperti itu atau dia yang memang bejat. Aku masih 16 tahun berseragam SMA dan dia Guru dengan dua kali usiaku. Dimataku dia sama tuanya dengan Kakek.
“ Ya..? “ kuhentikan langkah dan kembali mendekat. Ryan menatapku serius
“ Tolong berjanji padaku satu hal saja..”
“ Apa? “
“ Jangan gentayangan menghantui aku nanti ya.. “ dan cengiran lebar tercipta di wajahnya yang menentramkan.Aku tertawa keras dan berbalik pergi dengan cepat. Matahari sudah semakin tinggi dan embun pagi mulai menghilang.
“ Janji ya..!” teriaknya sebelum beranjak pergi
“ Pasti..!! “ jawabku sambil menoleh dan melambai. Kemudian mempercepat jalan setengah berlari kembali ke graha putri.
baca part 3 di sini
========== !!! ==========
judul : pilihan
pengarang : VAP
tipe : cerbung
========== !!! ==========
“ Sudah diputuskan?”
“ Sudah “ jawabku singkat sambil bersedekap menghangatkan diri dan melirik kesekitar mengusir gelisah. Embun masih belum menguap saat aku berjanji bertemu Ryan pagi ini. Di pintu 4 Ruang Komunikasi Bersama. Masih dengan pakaian olahraga, dan yang pasti belum mandi. Dengan segala macam peraturan di Sekolah ini, pagi hari setelah olahraga dan sebelum makan pagi adalah waktu yang berpengawasan rendah. Semua sibuk mempersiapkan diri untuk sekolah. Tak akan ada yang terlihat berkeliaran tanpa tujuan, kecuali untuk pagi ini; aku dan Rian.
“ Kamu yakin? ” Ryan menggeser posisi kacamatanya dengan sebelah tangan. Reflek yang tanpa disadarinya selalu dilakukan jika dalam keadaan tidak nyaman. Dan tentunya saat ini dia sanggat tidak nyaman. Ryan berdiri dengan menopangkan berat badan ke kaki kanan, agak membungkuk, mencoba mensejajarkan kepalanya dengan mataku. Profil yang terlihat jelek karena seharusnya dia bisa sangat keren jika berdiri tegap dengan proporsi tinggi badan yang dimilikinya itu.
“ Sudah aku putuskan “
“ Masih ada waktu untuk mengubah nya “
“ Aku sudah memutuskan “ jawabku kali ini dengan nada yang sama pastinya dan menatap tepat ke mata Ryan yang langsung mencengkram mataku dalam. Menatap lama, mencari keraguan yang mungkin akan ditemukannya. Aku bertahan. Tidak menambah atau mengurangi tatapan ku. Mencoba mempertahankan dalam kepastian yang sama. Dan relatifitas Einstein langsung terbukti, saat waktu yang hanya beberapa detik ini tiba-tiba terasa sangat lama sebelum terdengar helaan nafas menyerah Rian yang menegakkan tubuhnya dan membuang pandangan sesaat.
“ Apa? “
“ Tali “
“ Tali?!? “
“ Yap.. Tali.. “
“ Dibanding..?”
“ Silet dan Racun serangga “
“ Silet dan racun serangga? Cuma itu? Apa tidak ada pilihan yang lebih...? “
“ Lebih apa..? ” selaku langsung memutus kalimat Ryan yang dia ucapkan dengan nyaris tidak mempercayai pendengarannya.
“ Pistol, OD, jarum suntik kosong, terjun dari tower, menabrakkan diri ke bus, membakar diri atau lebih apa yang kamu maksud..? Tali, silet dan racun serangga memang lebih konservatif, tapi lebih sederhana dan dapat ditemukan dimanapun saat ini. Tak perlu mencarinya khusus, dan akan lebih sulit melacaknya nanti..” terangku dalam satu helaan nafas.
Ryan kembali menatapku skeptis beberapa saat, dan aku menatapkan balik dengan kepastian yang sama.
“ Dimana? “ tanyanya datar. Tapi aku tak bisa menyembunyikan senyum kali ini. Berarti Ryan menyetujui nya dan siap membantu aku.
“ Tengah panggung “
“ Pastii..? “ nada suaranya setengah menggoda dengan satu alis naik saat bertanya. Dan aku tersenyum makin lebar.
“ Percaya pada ku “
“ Mana bisa aku percaya dengan orang yang berniat menggantung dirinya di tengah panggung..!“ dengus Ryan sebal. Dan senyum ku terurai menjadi tawa cekikikan.
“ Thanks a lot “ ujar ku sambil melangkah mundur. Cukup sudah. Ryan pasti akan menjalankan bagiannya dengan sebaik-baiknya.
“ Ren..! “ panggilnya sebelum aku berbalik pergi.
Ryan tak pernah lagi memangil aku Ndut atau Rendut setelah kejadian itu. Sore di hari Sabtu. Dia melihatku keluar menunduk setengah berlari dari rumah Pak Rafal. Ryan mengikuti ku ke sudut terjauh lapangan bola. Menemukan aku dengan muka sekeras batu dan dikotori air mata. Dia duduk disampingku tanpa tanya, menemani dalam diam sambil makan kacang. Dan dua puluh menit kemudian barulah caci maki keluar dari mulut ku. Tak berhenti untuk orang yang selama ini aku anggap mengerti diriku. Orang yang kupercaya menjadi tempat mengadu. Pengertian dan perhatiannya yang selama ini ku anggap seperti Bapak kepada anak, ternyata tidak. Entah aku yang terlalu naif bisa berpikir seperti itu atau dia yang memang bejat. Aku masih 16 tahun berseragam SMA dan dia Guru dengan dua kali usiaku. Dimataku dia sama tuanya dengan Kakek.
“ Ya..? “ kuhentikan langkah dan kembali mendekat. Ryan menatapku serius
“ Tolong berjanji padaku satu hal saja..”
“ Apa? “
“ Jangan gentayangan menghantui aku nanti ya.. “ dan cengiran lebar tercipta di wajahnya yang menentramkan.Aku tertawa keras dan berbalik pergi dengan cepat. Matahari sudah semakin tinggi dan embun pagi mulai menghilang.
“ Janji ya..!” teriaknya sebelum beranjak pergi
“ Pasti..!! “ jawabku sambil menoleh dan melambai. Kemudian mempercepat jalan setengah berlari kembali ke graha putri.
========== !!! ==========
bersambung ke part5
========== !!! ==========
Tidak ada komentar:
Posting Komentar