Senin, 05 Februari 2007

embun penari....................(02/02)

by Ary

Kepengapan sinar lampu yang bernyanyi, menikam penjuru ruang. Kepala bergeleng diiringi keliaran hentakan kaki seakan-akan merubah berbagai irama-irama tradisi dalam nadi kebersahajaan. Musik yang bertalu menjadi gambar-gambar hidup dalam siluet kaku penuh kekosmopolitan yang sulit dipahami.

Beberapa halusinasi perawan berjoget riang diantara ketersiaan kelelakian. Tak ada lagi nafas perjaka yang mampu dipertanggungjawabkan. Kemudian kolonialisme uban-uban gentayangan menyeret-seret keranda uang sebagai harga kemenangan.

''Joged Nenek jantan.''

Jerit suara perawan yang tertindas.

''Mari cucung manis rupawan, peluk erat-erat duniawi.''

Balas suara yang gamang, sedangkan bebayangan kelembutan keluarga sudah ditinggalkan dalam mimpi-mimpi bahagia.

''Gantian Nenek jantan. Kawanan bujang tak perlu gadis sedang cari mangsa.''

Gerutu suara dari bagian dunia di kepengapan ruang lain. Alasannya sepele Nenek betina tak bakal tahu geliat kelelakian yang menebar dalam berbagai aroma alkohol.

Hanya saja, mendadak suasana kelam itu dihentikan hentakan mikropon yang menyebutkan dengan bariton padat, memberikan helaan nafas pada pergantian dunia yang ditawarkan.

''Sambutlah penampilan penari Embun, sosok primadona suksesi duniawi yang bakal membawa surga dalam kelupaan yang sudah terbiasa.''

Pekik sebuah suara yang merebut kegaualauan seantero gedung itu.

Perlahan-lahan, diiring dentum 'Sephia' yang meledak dalam dawai-dawai 'penghancuran irama', sebuah sosok yang lembut tampil mendedahkan lenggokkan Sekapur Sirih.Dengan mengenakan carikan-carikan kain yang sekedar menempel, kegemulaian tubuh sang penari yang penuh birahi itu mencabik-cabik pesona sekujur pedalaman ruang.

Lewat buaian kelentikan Zapin, secara sensasional kelelakian, sang penari secara perlahan mulai membuai kemontokan tubuhnya sendiri. Gesekan lengannya terasa meninabobokkan hasrat yang tertunda dari berbagai desahan ludah yang kembali memasuki keserakan kerongkongan. Lalu, dalam kejauhan erotisme, cabikan kain yang tersisa mulai melucuti diri. Buah dada yang semula bersembunyi mulai menampakkan wajah asli.

Sekejap, penjuru dinding dan keterbatasan langit-langit yang terlanjur terbuai mulai memelototkan birahi yang selama ini senantiasa dijadikan topeng-topeng kekelaman malam. Goyangan sang penari semakin bebal, cabikan kain semakin jatuh, terserak. Keterbukaan semakin menyayat, memaku berbagai kehadiran yang menyaksikan sebuah ketulusan yang sangat jujur sekali.

Hanya saja, dari sudut kursi yang sangat tersembunyi, Matahari menyeka air mata yang berdarah di antara lekuk pipinya yang semakin tiris. Demi Tuhan, sang Embun yang telah melampiaskan janji pemakaman dalam ikrar perkawinan 'terpaksa'menari telanjang di depan mata massa.

''Demi realitas, kalau hidup memang sudah jadi barang dagangan. Dan aku tak bisa menjual apa-apa.''

Ratap naluri yang menggedor sepanjang nurani Matahari.

Sementara, sang Embun terus saja asyik mencampakkan kebohongan dunia dalam penggal-penggal yang terpatah-patah.Tanpa dirasa kedua kepingan bola mata Matahari meleleh. Kedua pipi memucat dalam lesung pipit kesengsaraan yang tak mampu ditebus!

Tidak ada komentar: