by Ary
Dengan sorot mata kemerahan, Matahari menegakkan punggungnya yang terasa renta. Angin berkibar tanpa bendera. Seakan-akan menyorongkan kemarau yang begitu dalam pada setiap desah nafas sepanjang jalan kemerdekaan, yang menjadi keterbatasan bagi kebebasan pemilik kekuasaan.
Matahari baru mengusap peluh. Ruang kost yang berbatasan dengan berbagai impian mengepung sepenuh 'kemontokan' yang tak pernah bisa ditawar dengan harga apapun!
Mendadak, dirasanya guncangan halus menerpa dengan lembut pada ketidakpercayaan yang menelikung sekujur belulang. Ruang kamar yang berlangitkan kardus dan dinding triplek dengan ukuran fantastis: 4X6 itu, seakan-akan berdiang menunggu bara yang bakal meledak, tanpa memahami penjuru api yang mulai menjalar.
''Tidak ada apa-apa, tapi kami harus memperoleh apa-apa,''
Tiba-tiba suara Embun menyibak, mengkandaskan berkas kesejukan.
Ketajaman keberlinangan air itu seakan-akan memporakporandakan kesenyapan yang mengalirkan darah dan air mata dalam kelengangan yang ada.
Mau tak mau, Matahari mendongkak. Sepasang kerawanan di balik kelembutan pandangan Embun membuatnya menghela nafas panjang beriringan debur pantai yang tiada pernah selesai.
''Tak ada yang harus menemukan aku dan saya. Lantaran kami dan kita sudah bukan bagian dari mereka lagi. Mereka sudah menjadi komunikasi massa yang terpecah dalam kehingaran berbagai predikat. Saya bisa aku, tapi aku belum tentu saya. Kita hanya jadi omong kosong dalam kekitaan yang ada, dan mereka cuma penonton yang sama sekali tak memarfumi keberadaan, Mereka telah menjelma sisa-sisa kopi yang melupakan berbagai predikat.''
Keluh Matahari lirih.
Sang Embun merengkuh erat pundak Matahari.
''Masih banyak dermaga yang bakal menerima berbagai badai, namun selamatkan pelayaran itu sebagai ikrar tak kunjung padam. Debur ombak adalah kesetiaan untuk kehidupan. Mengapa mercusuar yang kehilangan cahaya harus diperdebatkan?''
Tepis Embun sembari menggelendot manja dan merebahkan kelembutan nafsu di kedua pangkuan kesengsaraan Matahari.
Kali ini, Matahari menyapu pandang lumat-lumat. Kedua kepala dalam lenguh tertatih-tatih saling bersahutan, menukar keakraban alis mata Matahari yang perlahan menengadahkan bibir dalam keranuman hidup yang dimiliki sang Embun.
''Ah, tepislah. Sudah waktu Embun mulai berlalu,''
Tukas Embun sembari merenggangkan kemesraan yang hadir. Matahari hanya mampu meluruskan persendian yang terasa rapuh.
''Apa tak lebih nikmat menyudahi kepalsuan itu Embun.''
Mendengar lenguhan Matahari, Embun mendadak menghentikan langkah. Kepalanya berputar diikuti liukan tubuh nan memukau.
''Kenapa?''
Sungut Embun pendek.
''Aku cemburu.''
Mendadak kegelapan malam melingkupi penjuru kamar. Bahkan sosok sang rembulan sebagai lilin kegulitaan malam hari lenyap dari peredaran. Rembulan padam dalam emosi. Matahari seolah sengaja membakar luka yang mengalirkan nanah dalam dada. Sementara sang Embun dengan tekun menggeriapkan pandangan dengan sorot yang sarat keanehan tanpa perlu dimengerti.
''Mengapa?''
''Tak selamanya apa-apa mampu menjadi darah.''
''Tapi darah ini menjadi dapur dan dermaga.''
''Ah,...apakah tak ada lagi luka yang sembuh atau pengganti kepul asap dalam setiap persinggahan.''
Suara Matahari menurun dalam keluh yang panjang. Dadanya meliuk dalam gemuruh musik yang tak pernah dimengerti. Dendam itu seakan mengalir dari berbagai penjuru dan membenamkan Matahari dalam kekosongan kepala. Sang Embun menggeleng gamang, sebelum kemudian meneruskan langkah dan menutup pintu kamar dalam kesendirian.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar