Selasa, 29 Maret 2011

pangeran kodok... (2)

Tubuh ini masih berdiri di sela-sela pintu halte transjakarta. Petugas yang berjaga terkadang mengingatkanku untuk tetap mundur. Tapi aku acuh. Pikiranku ntah ke mana. Aku melangkahkan kaki masuk ke dalam kendaraan yang biasa disebut busway. Kendaraan yang makin memadati lalu lintas ibukota negara ini.

Sesaat aku tersenyum ke arah orang-orang yang sempat melemparkan pandangan kepadaku dan sirna begitu mereka memalingkan mukanya dengan atau tanpa membalasnya. Pikiranku masih belum pulang.

"Lo nggak kos aja di sekitar sini?".
"Jauh amat rumah lo, kos aja kek."
"Busyett, berangkat jam berapa lo dari sana?"

Bosan! Pertanyaan dengan nada yang sama tiap kali ditanya di mana aku tinggal, di mana aku kerja, dan bagaimana cara datang ke tempat kerja.

Aku beri nama detik katak atau tiktak. Dunia dengan waktu hanya ada aku dan 'aku' yang berlompatan dalam detik memory yang saling berangkaian. Hanya ada aku yang mengatur semua percakapan, semua tindakan yang akan dilakukan 'aku' yang lain di dalamnya. Aku bisa marah, berang, diam, teriak, atau gembira. Aku tidak tahu sejak kapan fantasi ini datang. Tapi, selalu datang, sensasi rasa sepi dalam hiruk pikuk keramaian. Bukan lamunan, aku sengaja membuatnya. Saat egoku ingin menjadi raja, suasana hening pun akan kupanggil menghadap untuk memulainya. Aku begitu menikmati momen ini. Tak akan bosan kumelakukannya. Tak akan ada yang merasa aneh melihatku hanya terdiam dengan tatapan kosong. Tak akan ada yang mengira. Tak akan ada yang paham, ntah yang aku pikirkan.

Aku makin asyik dalam tiktakku sendiri. Tentang penyesalan keputusan, kepuasan pribadi, menyangkut pertemanan, keceriaan suasana, kenikmatan kuliner, dan kerja yang isinya seperti lempar-melempar bola serta tak luput mengenai cinta. Sebenarnya rutinitas kerja membuatku bersemangat. Bagaimana tidak aku bertemu dia di sana. Mengagumi seseorang itu mudah, hanya ketetapan hati yang menjadikannya tidak mudah. Seorang sahabat menilaiku terlalu selektif. Walau pun egoku tidak menyalahkan apa yang kuperbuat. Bertindak selektif bukan berarti tidak selamanya tidak memilih. Setidaknya begitulah pendapat batinku. Namun, penyesalan seperti kura-kura saat berlari. Tak bisa datang sesegera. Seandainya saja....... ahh bodoh amat, jika aku melakukannya mungkin kita sekarang bahagia. Tapi 'aku' yang lain bersikeras untuk menahanku. Aku pun masih mengiyakan, sedang 'diriku' masih menggeleng. Sudah berapa kali aku memaki 'dia' bodoh. Sangat lama aku merasa berang pada 'dirinya'. Mungkin 'kamu' benar benar ingin aku melupakan dia, menyerah.

Aku meloncat meraih lipatan-lipatan memori yang bertebaran, mencoba mencari sejak kapan aku ingin selalu mencari tahu tentangmu. Ef-be, ye-em, sms, apapun info untuk mengenyangkan rasa lapar ego ini akan dirimu. Aku paham ini bukan lagi seperti khayalan. Tapi ini lebih mirip akal-akalan ego, saat rasa cemburu yang menang. Ada rasa tidak rela membagi kebahagiaan, walau sama sekali belum pernah kudapat. Ketika kita hanya dua pekerja yang berbagi cerita dengan jemari menari di atas handphone. Saat tingkah laku kamu membuat aku sibuk tersenyum sendiri, terkadang ingin kubagi senyum itu denganmu. Kenangan itu memang hanya ingatan. Adakalanya tertumpuk kenangan baru hingga suatu waktu terlempar ke atas kembali. Dan sialnya memori itu selalu terkatrol ke atas hingga membuatku geram kepada 'diriku' sendiri.

Aku menoleh ke luar jendela. Menerobos tanya dalam anganku. Akan dia mampu mengerti?
"Pasti itu! Yakin deh" begitu pongahnya sugesti mencoba menata kembali kerapuhan ini. Dan kini hanya menunggu untuk berpijak lebih pasti. kuyakin bahwa semua ini memang menuju jalan yang terbaik. 'Persetan dengan jalan terbaik, ntah kenapa semua orang selalu berkata begitu. Kita hidup di masa kini, bukan untuk menunggu jalan imaginasi yang kita golongkan dalam kategori terbaik.'

Mari kita... kita??? Iya, aku dan 'kamu', bukan berandai-andai ataupun berkeluh-kesalan, cukup kepak masa lalu, rangkai masa depan, dan tapaki kehidupan sekarang.

Tidak ada komentar: