Jumat, 19 Oktober 2007

seorang pemuda dan gerimis

Hari ini hari Jum'at, tepat seminggu setelah lebaran. Aku masih sendiri. Sendirian. Sementara di luar apartment ini sedang ramai. Ramai akan kawanan hujan bak bersenandung. Ritme yang tercipta seakan menghipnotis diriku dari pagi tadi.

'Udah jam 12 neh, musti siap-siap ke masjid'
Kutengok ke luar jendela sebentar. Gerimis masih berpesta ria. Serasa gak ada capeknya.

12.15 : menuju ke halte, ketinggalan bus.
"Gerimisnya belom reda ya Pak?" sapaku kepada salah seorang tetangga apartment.
"Iya, nak. Dari tadi malam." Beliau menatap kosong ke arah atas
Frekuensi bus yang kita tunggu mencapai 15 menit. Masih lama.
12.25 : bus tiba
12.35 : tiba di tujuan

Dari tadi gerimis masih setia menemani perjalananku ke masjid. Sementara aku tidak punya payung. Ohh....mungkin punya, hanya rasa kasihan yang merebut payungku satu-satunya dua hari yang lalu.

Jarak 100 meter dari masjid, gerimis terhenti. Padahal langit masih hitam kelam. Apa yang menghambat butiran air rejeki itu untuk jatuh? Bagi aku hujan itu adalah rejeki. Ayahku di kampung masih mengandalkan air hujan untuk sawah beliau. Kuno. Tapi, dari situ aku belajar bersyukur.

Aku masuk masjid beserta rombongan tetangga apartment yang lain. Tidak banyak yang kukenal. Di dalam masjid udah penuh sesak, sampai ke belakang dekat tempat wudhu, sementara pelataran masjid begitu sepi, padahal kalo ditarik garis lurus berapa di shaf-shaf depan.

Aku sudah wudhu dari semenjak berangkat. Lalu kulangkahkan kaki menuju pelataran. Aku duduk di barisan nomer 2 dari depan. Depanku udah penuh sederet. Setelah menunaikan tahiyatul masjid, aku duduk diam. Tikar yang menyelimuti pelataran ini agak basah. Mungkin karena alasan ini tidak banyak orang mau di sini.

Datang seorang pemuda, berdiri di samping kiriku. Dia tetap berdiri. Tidak sholat tahiyatul masjid. Hanya diam berdiri. Atau menunggu? Tapi menunggu apa? Atau menunggu temennya?
Perawakannya seperti diriku. Anak kuliahan. Memakai kaos berkerah. Celana bahan. Tidak tampak niat dari orang ini untuk beribadah. Ahh...ataukah cuman aku yang suuzan? Dengan menjudge orang dari penampilannya. Lagian di antara orang-orang di sekitarnya pakaiannya tergolong rada kumal. Dalam artian gak disetrika dan warna pudar.

Dia bergerak ke depan. Astaga aku tersadar 2 hal. Pertama, dia menunggu orang di depan dia selsai sholat. Kedua, ternyata barisan di depan shaya itu adalah shat kedua. Bukan pertama. Sesaat aku bergerak menemani pemuda itu duduk di shaf depan. Alhamdulillah.....syukur masih diperkenankan menempati shaf pertama.

Tak berapa lama jamaah di shaf kedua mulai menggeser duduknya ke depan. Adzanpun berkumandang. Salah seorang bapak -tidak kukenal- yang duduk di samping kiriku berkata, "Alhamdulillah.....waktu datang ke masjid hujan berhenti, sekarang hujan turun lagi tepat abis adzan. Allah Maha Kuasa."
Aku hanya tersenyum, 'iya seh.......syukur dah datang sebelum adzan.'

13.20 : selesai khutbah
13.25 : selesai sholat Jum'at

Jamaah mulai berbondong-bondong keluar masjid. Tapi, gerimis masih bergemerincing.
Aku mencoba mengukur apakah kira-kira gerimis akan berhenti begitu kegiatan sholat Jum'at secara keseluruhan telah selesai?
Dzikir.
Sholat ba'diah.
Dzikir.

Dan benar gerimis sesaat berhenti. Dan kulihat pemuda itu keluar.
Tunggu! Apakah karena pemuda itu hujan berhenti?
Astaghfirullah.....! Pikiran ini masih saja teracuni oleh pikiran-pikiran syirik. Hanya Allah yang menurunkan rezeki untuk hambaNya.

Akupun melangkah ke luar masjid. Memasuki dunia kesendirianku lagi.

1 komentar:

ANNAS mengatakan...

Ketika Rasulullah Saw. menantang berbagai keyakinan bathil dan pemikiran rusak kaum musyrikin Mekkah dengan Islam, Beliau dan para Sahabat ra. menghadapi kesukaran dari tangan-tangan kuffar. Tapi Beliau menjalani berbagai kesulitan itu dengan keteguhan dan meneruskan pekerjaannya.