Orang-orang dengan wajah yang berbinar mencoba menyaksikan sebuah anak tangga penting, sebuah pernikahan. Kata-kata keramat dan nasihat-nasihat pernikahan diuraikan, lagu-lagu cinta penuh harapan dilantunkan, doa-doa didengungkan, dan aku hanya tertunduk, sesekali melintaskan pandang sambil berusaha menebar senyum, tanpa pernah berani menatap satu per satu wajah orang dengan jeli. Semoga ia tidak ada di tengah-tengah mereka yang hadir……
Janji-janji yang barusan kulafalkan di depan banyak orang, ikrar suci yang dihormati dan dianggap sakral tidak pernah benar-benar muncul dari hatiku. Semua serba hanya untuk kepantasan dan seremonial. Inilah hidup, kecelakaan kecil bisa menjadikan segala yang kita harapkan berbelok jauh. Jauh sekali.
Ratusan tangan bergantian menggenggam, ingin menyampaikan dengan bahasa lain kepadaku untuk mengarungi hidup yang baru. Hidup yang baru? Mungkin maksudnya hidup serumah dengan orang yang tidak kucintai, berangkat dan bangun tidur dalam suasana yang sama, bercinta tanpa sepenuh rasa, beranak-pinak, dan hanya merasa bahwa ini semua sekadar mengisi hidup, bukan untuk hidup itu sendiri. Semakin banyak tangan yang menggenggam memberi ucapan selamat, semakin memberiku ketakutan-ketakutan yang pekat dan bergumpal. Apakah segala permasalahan rumah tangga yang muncul, perselingkuhan demi perselingkuhan juga berawal dari hal-hal seperti ini? Dari sesuatu yang sejak awal aku tahu bahwa ini semua tidak seharusnya dijalani.
Pesta-pesta hampir usai. Hanya kerabat dekat yang tersisa dalam wajah lelah namun nampak bahagia. Kursi-kursi mulai kosong, alat-alat musik mulai dipreteli, suamiku (ah, suami?), semakin erat menggamit pinggangku, seakan ingin terus mengekalkan sebuah peristiwa yang mungkin berharga baginya. Jauh dalam rongga dadaku, rasa sesak semakin memadat, namun juga dengan cepat berganti dengan kekosongan. Rasa hampa yang tidak terisi oleh apa-apa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar