Selasa, 11 Oktober 2011

Sepenggal Kisah yang Terungkap... (2)

Lalu ia berdiri dan bersuara, "Senggigi tidak banyak berubah. Tempat ini memberiku banyak kenangan. Dulu, aku dan teman-temanku selalu bertandang ke sini. Sama seperti sekarang, menikmati suasana matahari terbenam.”

”Sejak dua bulan yang lalu,” lanjutnya, ”aku diundang untuk membuat suatu projek di Bali. Dan aku teringat dengan pantai ini. Rinduku tiba-tiba membuncah. Aku rindu ufuk barat bernuansa sunset. Dan secara tiba-tiba, kantorku mengadakan meeting di Giri Trawangan sejak dua hari lalu. Sekarang sudah selesai dan aku bisa melampiaskan rindu selama ini. Tidak banyak yang kuketahui tentang perkembangan pesisir ini. Hanya dengan membaca cerita blog orang atau dari teman-temanku yang sesekali balik ke sini. Tapi sayangnya, sekarang aku hanya bisa datang sendiri. Mereka sudah berkarya di luar. Fiuh, beginilah. Kami semua sibuk. Aku mencoba menikmati ini tanpa mereka.”

Kata-katanya deras mengalir, seakan bercerita sendiri. Tatapannya hanya mengarah pada ufuk barat tanpa menoleh sedikitpun. Mungkin dia tidak sadar kalau aku diam-diam menyimaknya. Dari nada bicaranya aku teringat dengan teman kuliah dari daerah Sumatra. Logat Melayunya masih terasa, tapi samar terdengar..

Kisahnya masih berlanjut. Tak lama aku menatapnya, memperhatikan wajah beserta raut muka yang mengisahkan. Terkadang dia tersenyum lebar dikala dia mendapat kabar akan kesuksesan teman-temannya. Ada juga raut sedih tergambar waktu teringang perpisahan dengan teman-teman dan pulau ini. Persahabatan lelaki. Pencipta mimpi-mimpi. Penggapai cita-cita setinggi langit. Tersebut juga kisah tentang keluarganya yang berpindah ke ibukota dan pencapaian mimpi-mimpi yang dia rajut pada negara yang disebut Red Dot Island.

Lama memperhatikan garis-garis wajahnya, aku mencoba mengingat. Tunggu! Raut yang seperti ini pernah akrab denganku. Tapi...tidak mungkin. Apakah dia Iko? Ya, Iko. Kakak kelas SMU yang kerap menggodaku sewaktu masih kelas satu SMU. Tapi bukankah Iko berpenampilan agak culun, dengan kacamata dan... Tidak seperti sosok tegap di sini dengan wajah dan gaya layaknya orang tak ketinggalan mode. Sepertinya bukan.

Dia berdehem membangunkanku dari lamunan. “Tujuan aku ke sini sebenarnya mencari seseorang. Sewaktu Undergraduate di Bali, aku sering main ke pantai ini. Hampir tiap akhir minggu kuhabiskan waktu di Mataram dan Sengigi. Di sinilah aku memperhatikan seorang gadis. Gadis itu sering duduk di bangku ini. Aku tidak mengenalnya. Hanya tahu beberapa informasi dari teman kuliahnya dan sahabat-sahabatku. Namun, sejak kepindahan keluargaku kembali ke Riau, aku kehilangan dia.”

Ternyata bukan aku seorang yang sering menanti senja yang turun perlahan di pesisir ini. Kuakui memang semua yang ada di sini memberikan banyak inspirasi. Aku pun mulai tertarik dengan kisahnya. Ternyata dia tidak seperti dugaanku semula. Ada kesan romantis yang terpancar dari caranya bercerita.

“Bagaimana Anda bisa kenal teman kuliahnya?”

”Mereka temanku waktu SMU. Mereka memberi banyak info tapi tak pernah mau memberitahu siapa nama gadis itu. Mereka memaksa aku berkenalan sendiri. Jujur, waktu kuliah aku menjadi grogi, ada perasaan takut dikala mendekati seorang wanita. Mungkin ini karma, pada waktu SMU, aku suka menjahili wanita. Begitulah teman-temanku berkata.”

Apakah dia beneran Iko ya? Aku tersenyum, “tapi... sepertinya Anda tidak seperti apa yang Anda ungkapkan. Buktinya sekarang, berani...”

“Sewaktu aku melihat Anda di sini, ada kesan bahwa Andalah gadis yang aku cari selama ini. Tapi, tetap tidak berani. Pada akhirnya, aku diberikan kesempatan dengan terjatuhnya pena Anda tadi. Suatu alasan yang jelas, bukan?”

”Eh iya, ya.”

Senyumannya semakin lebar. Lalu tawanya meledak. Astaga! Tawa itu... aku mengenali Iko dengan cara dia tertawa. Bahkan pada buku tahunan kami, ada beberapa kesan dari teman-teman yang menyinggung tawa khas dari Iko. Tapi...

Dia mengangkat kedua tangannya dan menunjukkan kedua telapak tangannya seraya dimaju-mundurkan sedikit, ”maaf kalau mengagetkan Anda.”

”Nggak papa. Aku hanya jarang mendengar tawa selepas itu.”

”Anda punya hobi menulis?” tanyanya sambil menunjuk ke arah note dan pena.

”Iya. Tempat ini memberikan banyak inspirasi.”

”Ternyata bukan cuma aku saja yang berpikir seperti itu. Minimal ada 3 orang dengan tujuan yang sama di sini. Aku, Anda, dan gadis itu,” timpalnya. Ia kembali duduk.

“Anggota KAN? Karya Anak Negeri?” lanjutnya.

“Iya, kenapa...?” tanyaku.

Waktu terus berlalu, obrolan kami tetap mengalir. Tanpa sadar warna senja mulai memenuhi tempat ini. Rimbun dedaunan mendesir oleh sisiran angin laut.

==========
bagian 3
==========

Tidak ada komentar: