Selasa, 30 Januari 2007

tidak tenang....................(03/03)

Rencanaku sudah matang. Aku sudah siap menghadapi segala konsekuensinya. Toh, aku sudah tak punya apa-apa lagi untuk dipertahankan atau diperjuangkan (apakah aku harus kuliah dengan perut buncit nantinya? Aku tidak akan tahan hidup lebih lama lagi dengannya). Aku sudah tidak berharga, dan jauh di dalam hati kecilku aku juga menyalahkan diriku. Karena itu mungkin inilah hukuman yang pantas kujalani.

Sore itu Pak Gilbert sedikit terkejut mendapati aku berada di rumahnya, menyambutnya dengan seulas senyum hangat lantas menciumnya. Kami berbincang-bincang sejenak tentang sekolah dan ujian akhir. Aku tahu aku tidak akan melewati semua itu. Tapi dia tidak. Aku berkata ingin menginap hari itu dan memasak untuknya. Dia nampak senang sekali. Maka sementara dia membersihkan diri di kamar mandi, aku memasak untuknya; masakan favoritnya. Kumasak seenak mungkin karena aku tahu saat itulah dia akan memakannya untuk yang terakhir kalinya. Akhirnya setelah matang, kuhidangkan masakan tersebut di meja. Kamu ingin tahu apa yang kumasukkan ke dalamnya? Bubuk obat tidur yang pasti bisa membuatnya tak sadarkan diri selama sekitar setengah jam. Aku sudah mempelajari cara kerjanya dan semua telah kuatur untuk mengatasinya.

Tatkala aku menghidangkannya, sempat terbesit perasaan bersalah… Apalagi dia menatapku dengan sangat lembut, betapa aku pernah terbuai oleh mata itu… Pak Gilbert meraih tanganku lantas menarikku ke dalam pelukannya. Kami berciuman sesaat kemudian aku menyuruhnya mencoba masakanku. Lelaki itu menyantapnya, mengunyahnya, menelannya…, dia menyukainya. Aku menunggu reaksi obat itu…1 menit, 2 menit, 3 menit, masih belum bereaksi juga. Aku mulai cemas, bagaimana kalau rencanaku meleset? Bagaimana kalau obatku tidak manjur? Kalau itu terjadi aku terpaksa harus mengambil jalan kasar… Diam-diam kuambil sebuah patung pajangan yang diletakkan di atas lemari es. Tapi baru aku hendak memukulkan patung tersebut ke kepalanya, Pak Gilbert tiba-tiba jatuh tergeletak di lantai. Aku berhasil membuatnya tak sadarkan diri. Cepat-cepat kumanfaatkan waktu yang ada untuk memakai sarung tangan kemudian mengunci pintu depan dan menutup semua korden di rumah itu. Sesudah itu aku menyeret tubuhnya yang besar (dan berat) dengan sisa-sisa tenagaku ke pinggir ruangan, tepat di bawah tangga. Selanjutnya kukeluarkan sebuah tape recorder dari tasku dan kuletakkan tergeletak di sampingnya, lantas…kuambil pisau di dapurnya yang sudah kuasah berulang-ulang sebelumnya dan kuletakkan pisau itu tergenggam di tangan kanannya.

Kamu ingin tahu apa yang kulakukan selanjutnya? Aku naik ke lantai 2 untuk menelepon polisi (sebelumnya kedua sarung tanganku kulepas dulu supaya sidik jariku tertinggal di sana), aku berakting seperti orang yang tengah terancam bahaya, berteriak minta tolong lalu dengan tiba-tiba memutuskan hubungan telepon dan membiarkan gagangnya tergantung-gantung. Aku bergegas turun ke lantai satu, membuang sarung tanganku lalu menghampiri tubuh Pak Gilbert yang masih tergeletak tak berdaya. Sekilas kupandangi wajahnya yang rupawan, tubuhnya yang gagah… Jika mengingat kenangan masa lalu rasanya hati ini masih menyimpan sedikit cinta untuknya. Seandainya saja…,yaah, seandainya saja…semuanya berbeda… Waktu itu aku sempat berpikir apabila suatu saat aku terlahir kembali, aku ingin menjadi kekasihnya lagi, tapi setelah ia menjadi orang yang lebih baik… Perlahan-lahan kucium dia, kuambil tangannya yang kini menggenggam pisau dengan ujung pakaian yang kukenakan…

"Selamat tinggal, Pak…"

Tanpa ragu-ragu lagi kutusukkan pisau tajam itu di dekat daerah jantungku. Aku belum pernah merasa kesakitan seperti itu, darah muncrat dari mulutku… Tapi aku masih berusaha membuat rencanaku berjalan mulus, dengan segenap kekuatan yang tersisa padaku kutarik pisau itu lepas dariku dan aku tergeletak berlumuran darah di sampingnya. Tubuh kami kubuat saling bertindihan supaya terlihat habis jatuh dari tangga bersamaan. Saat polisi datang aku masih dapat mendengar sirenenya sebelum akhirnya sama sekali tak sadarkan diri.

***

Pengadilan memutuskan Pak Gilbert bersalah atas pembunuhan tingkat dua, karena saat polisi tiba di rumahnya ia ditemukan memegang pisau yang berlumuran darahku. Ia segera sadar begitu polisi memberinya bau amoniak dan langsung diborgol menuju penjara setempat. Tuduhan semakin dikuatkan oleh bukti kaset di tape recorder yang berisi cemoohannya padaku saat aku berniat membeberkan kebusukannya. Semua bukti-bukti mengarah padanya, janin di perutku, sidik jarinya di pisau, sidik jariku di gagang telepon, darah di tangan… Maka Jakarta gempar oleh berita pelecehan seksual seorang guru muda terhadap siswanya yang akhirnya menyebabkan pembunuhan keji 2 nyawa (aku dan bayidi perutku). Dunia pendidikan tercemar. Pak Gilbert dijatuhi hukuman seumur hidup dan aku yakin reputasinya tidak akan pernah bersih lagi, karena masyarakat (terutama keluargaku) menghujatnya habis-habisan. Meski sampai detik terakhir ia tetap menyangkal perbuatannya dan mengutuk namaku, tak ada yang percaya padanya. Aku lega karena satu-satunya kelalaianku tidak diketahui, aku lupa membenturkan kepalaku dan kepalanya… Bukankah aneh 2 orang yang jatuh dari tangga setelah bertengkar hebat (mereka menduga Pak Gilbert berusaha merebut kaset ancaman tersebut dariku) sama sekali tidak mendapat luka benturan? Lagipula Pak Gilbert juga tidak terluka sama sekali. Hahaha, bodohnya orang-orang itu…

Setelah semua berhasil kujalankan, setelah aku membalaskan dendamku padanya, setelah dia tidak dapat berkutik lagi…kukira aku akan merasa puas. Kukira aku bisa bahagia melihatnya menderita. Tapi…nyatanya tidak, karena hingga saat ini aku masih berada di dunia fana ini, luntang-luntung sebagai sesosok hantu yang gentayangan…

***

2 komentar:

Unknown mengatakan...

kenapa kayaknya skrg jadi suka yang berbau2 misteri gtu sie b???

- HQ - kiko - mengatakan...

hihihihihi......
kenapa Tess??
takut? :p