Dulu,…tepatnya setahun yang lalu, ini adalah kelasku. Tempat yang penuh kenangan; ada senyum, ada tawa, tapi ada juga tangis dan amarah. Kelas 3 memang saat penuh gejolak, usia kami menginjak 18 tahun dan kami tengah berjuang mencari arah hidup masing-masing. Hanya beberapa anak saja yang sudah merasa yakin benar untuk melangkah, sedangkan sisanya masih terombang-ambing dalam badai ketidakpastian. Aku sendiri entah termasuk yang mana. Di satu sisi aku yakin menjadi dokter adalah cita-cita masa kecilku yang patut diperjuangkan, namun di sisi lain kedua orang tuaku keberatan menanggung biaya pendidikanku. Maklum saja, ayahku seorang wiraswasta yang tak tentu penghasilannya dan ibuku hanya seorang pegawai negeri yang pas-pasan, sedangkan saudara kandungku ada 4 orang (yang tertua masih duduk di kelas 3 SMP). Orang tuaku hanya sanggup membiayaiku untuk ikut kursus keterampilan. Aku mengerti, aku sungguh mengerti dan tidak akan memaksa. Tapi hatiku masih sering kecewa bila melihat teman-temanku yang lain sibuk mendaftarkan diri ke berbagai Perguruan Tinggi. Dan entah bagaimana, Wali kelasku tiba-tiba mengetahui masalahku. Dia lantas memanggilku dan menyuruhku menceritakan semuanya. Aku, entah karena merasa diperhatikan atau karena sudah tak sanggup menyimpan semua ganjalan di hatiku, akhirnya menceritakan semua masalahku pada Pak Gilbert. Setelah selesai bercerita aku baru sadar kalau aku sudah terlalu cerewet mengungkapkan sisi-sisi kehidupanku, bahkan aku sempat menangis. Aku merasa malu sekali pada guru kimia sekaligus Wali kelasku itu, lantas segera meminta maaf karena telah bicara macam-macam. Tapi ternyata dia malah tersenyum (senyumnya masih terukir jelas di benakku)…lembut sekali. Tatapannya seakan berkata,
"Aku mengerti apa yang kau alami…"
Dan saat itu juga aku merasakan kedamaian. Pak Gilbert berkata kalau ia akan berusaha sebisanya membantuku memperoleh beasiswa, antara lain dengan memberiku les Mafia tambahan. Menurutnya, beasiswa diberikan terutama dengan melihat nilai kelas 3 dan nilai tes masuk. Jadi kalau aku bisa mempertahankan rangkingku saat itu (aku rangking 2) kemungkinan besar aku bisa diterima di jalur beasiswa prestasi atau ekonomi lemah. Setahuku waktu itu memang ada larangan keras bagi guru (apalagi Wali kelas) untuk memberi les tambahan, tapi saat kuingatkan hal itu padanya dia hanya berkata,
"Ya, tapi larangan itu tak berlaku untuk murid istimewa seperti kamu…"
Aku sempat tersipu saat matanya yang tajam menatapku dalam-dalam. Aah, diam-diam kucari tahu latar belakang Pak Gilbert dan aku merasa sedikit bersorak saat mengetahui ia belum beristri ataupun pacaran. Pak Gilbert memang masih sangat muda bila dibandingkan guru-guru yang lain, ia berusia 25 tahun dan pernah 2 tahun mengajar di sebuah SMA kota kecil sebelum akhirnya pindah ke ibukota hingga kini. Dia kemudian memberiku les tambahan, dari satu kali seminggu menjadi tiga kali seminggu, kadang bertempat di sekolah tapi seringkali di rumahnya yang tak jauh juga dari sekolah. Aku tak ingat bagaimana awal mulanya, tiba-tiba kami sudah menjadi sepasang kekasih. Mungkin benar yang dikatakan orang tentang witing tresna jalaran saka kulino. Aku seperti mabuk kepayang oleh cintanya dan waktu itu aku merasa tak ada salahnya, karena toh dia single, hidupnya mapan, tampangnya juga tidak mengecewakan. Bukannya aku tak tahu kalau banyak siswi di sekolahku yang diam-diam mengaguminya dan berusaha menarik perhatiannya. Tapi kepadaku dia berkata,
"Mataku kini hanya tertuju padamu."
Bisa kau bayangkan gadis perawan tak berpengalaman seperti aku mendapat sanjungan dan rayuan semacam itu…, tak perlu menunggu lama setelah itu…kami berhubungan layaknya sepasang suami-istri. Percintaan pertama kami waktu itu terasa sangat menggetarkan, dan Pak Gilbert seperti langsung membuka mataku pada dunia lain yang selama ini tabu dan hanya dapat kubayangkan lewat cerita-cerita vulgar teman-teman sekelas. Nyatanya seks sama sekali tidak seperti itu, …seks itu tergantung dua orang yang melakukannya. Apabila mereka melakukannya dengan terpaksa maka ia dapat terasa sangat menyiksa dan menjijikkan, tapi apabila ia dilakukan oleh dua orang yang saling mencintai maka ia dapat terasa begitu lembut, dan jelas…ia dapat membuatmu sangat ketagihan. Buktinya setelah hubungan seks pertama kami ada hubungan seks kedua, hubungan seks ketiga dan seterusnya…
Tuhan itu sabar. Dia tidak menghukum umat-Nya yang berbuat salah langsung pada detik itu...pada momen itu, melainkan menunggu pertobatan kita; menunggu, menunggu dan menunggu sampai akhirnya kesalahan itu tidak dapat ditolerir lagi dan kesabaranNya sudah habis… Bila itu terjadi, hukuman yang menimpa kita tidak terbayangkan lagi… Kukira aku mengenalnya, kukira aku mengetahui latar belakangnya, kebiasaannya, sifatnya… tapi nyatanya aku tidak mengetahui apa-apa. Cinta itu buta, benar sekali! Setelah cawu 3 (Pak Gilbert dan aku sudah berhubungan sekitar 5 bulan) aku baru mengetahui kelainannya… Waktu itu malam hari, kami tengah bercumbu di ruangan kelas yang memang kami masuki secara diam-diam, ketika tiba-tiba dia melepas ikat pinggang dari celananya dan mengikat tubuhku di kursi dengan ikat pinggang tersebut. Lalu ia merobek baju seragamku dan mulai bertindak kasar padaku, aku tak dapat menghindar ataupun berteriak karena ia menyumpal mulutku dengan kain. Aku tak berdaya, …tapi waktu itu aku pikir dia sedang stress dan butuh melampiaskan kekesalannya pada sesuatu. Dan gilanya, aku mengira ia akan kembali lemah lembut seperti biasanya lagi. Memang iya, kalau sedang dalam keadaan baik ia sangat menyayangiku, memperhatikanku. Ia bahkan membayar uang sekolahku dan membelikan berbagai keperluanku. Tapi kalau suatu saat nafsu biadabnya kembali, ia akan memaksaku bercinta dengan gayanya yang sok memiliki dan menyakitiku secara fisik. Ketika otak sehatku mulai bekerja dan aku ingin terbebas dari kegilaannya, aku menjadi sangat bingung. Kepada siapa aku harus mengadu? Apakah akan ada orang yang percaya pada ceritaku? Bahkan orang tuaku telah mengetahui hubungan kami dan jelas-jelas menyerahkan aku kepadanya karena ia telah berjanji menikahiku dan memenuhi semua kebutuhanku. Ia memang menepati janjinya, siang itu ia mengajakku mengelilingi sejumlah toko emas untuk mencari cincin pertunangan.Ketika akhirnya ia menemukan yang sesuai, ia memberikannya padaku sambil berlutut di hadapanku,
"Menikahlah denganku, Sis."
Aku tak menjawab permohonannya yang saat itu diajukan di tengah-tengah orang banyak yang berlalu lalang. Kami berdua berusaha tetap tersenyum dan aku berkata dengan pelan,
"Putuskan aku…"
Wajahnya nampak sedikit terheyak tapi ia kembali tersenyum dan menjawab,
"Ayolah, Sis, kita benar-benar cocok satu sama lain."
Cocok apanya? Dia benar-benar berpikir aku bisa menikmati siksaannya? Dasar cowok sakit… Ketika tahu aku tidak mau mengiyakan lamarannya, dengan cepat dimasukkannya cincin 22 karat itu ke jari manis kiriku sambil berbisik manis,
"Aku tidak bisa membiarkanmu pergi. Sis, ingat kalau kamu kelas 3 dan sebentar lagi akan lulus."
Aku mengerti benar ancamannya, dan saat itulah aku semakin sadar kalau dia adalah monster yang tertutup wajah simpatik dan pendidikan tinggi. Aku merinding saat ia menggenggam dan mencium tanganku…
"Bagaimana aku bisa lepas darinya?"
Hanya itu yang terlintas di benakku. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar