Kamis, 25 Januari 2007

Pernikahan Hampa....................(01/04)

Kini getir itu menyelinap semakin kuat. Lewat perabot-perabot yang memantulkan cahaya, lewat lantai yang memantulkan bayang wajahku sendiri, lewat harum bau yang marak, dan beraneka aroma makanan. Rasa getir yang semakin menguat ketika segala bayang-bayang yang berusaha kutepis dan kubuang justru semakin mendekap kuat. Aku tak bisa melakukan apa pun, selain menerima semua kehadirannya dalam seluruh angan, dan membiarkan rasa getir itu menusuk tajam, membuat ngilu di hati, menjebol tanggul mataku, mengantarkan airmata sebagai pertanda ada sesuatu yang tidak bisa tertanggungkan dengan hanya diam.

Sedari awal, aku tahu dan sadar bahwa tidak setiap pernikahan dilandasi oleh cinta. Banyak orang yang kukenal melangsungkan pernikahan justru karena sebab-sebab lain, dan bukan karena cinta. Tapi ketika hal itu harus kualami, berkali-kali aku harus dipaksa untuk mengaku dan jujur pada diri sendiri: ini perbuatan yang nyaris menyerupai kebodohan. Dari dulu aku bersikukuh, apa pun boleh terjadi padaku, tapi jangan sampai aku menikah dengan seseorang yang tidak kucintai.

Aku boleh gagal dalam menyelesaikan studi, aku boleh terantuk-antuk dalam mendapatkan pekerjaan, aku boleh tersendat dalam meniti karier, tapi aku tidak mau menikah dengan orang yang tidak kucintai. Ternyata kenyataan bicara lain, aku sukses dalam menyelesaikan studi, aku lancar dalam mendapatkan pekerjaan dan meniti karier, tapi….ternyata aku harus menikah dengan orang yang tidak kucintai.

Orang yang kucintai itu, sekarang entah di mana. Dulu, ketika aku berhubungan dengannya, aku belum berani menyimpulkan bahwa aku jatuh cinta padanya. Tapi apalagi yang bisa kurumuskan jika segala gerak-geriknya membuatku tertawa dan bahagia, setiap kehadirannya mengukuhkan bahwa aku ada dan selalu merasa rindu ketika baru saja aku menutup pintu untuk melepaskannya pulang dari bertandang. Ia yang mampu membuatku tersungkur, tersedu, merasa hilang segala harapanku ketika kami harus saling meninggalkan. Selepas itu, hari-hari tanpa dirinya adalah rentangan waktu hampa. Dari sana aku menyimpulkan bahwa aku jatuh cinta.

Tapi hidup tidak akan berhenti jika kita tidak berani mengakhiri, dan bagiku, hidup harus terus berlangsung, dijalani, menapakinya dengan pelan tapi pasti sambil terus mengurai harapan dan berandai-andai kelak kami akan bertemu lagi, berjodoh dalam kesempatan di depan dan dalam potensi yang lebih baik. Lalu hadir laki-laki sambil laluku, satu, dua, tiga, empat. Laki-laki yang keempat adalah laki-laki yang besok siang akan menyandingku dalam sebuah prosesi pernikahan yang sejujurnya tidak pernah kukehendaki.

Tidak ada komentar: