part 2 : Rimba Misteri
by Cece
Aku dan Rimba telah bersahabat sejak kami masih mengenakan seragam merah putih dan berlarian di kota kecil Murai, di salah satu pelosok Sumatera Barat. Ok, aku ralat, kami waktu itu memang belum bisa dibilang bersahabat jika hanya saling melemparkan ejekan dan bertengkar setiap bertemu. Tapi, memang seperti itukan pertemanan yang bisa diharapkan dari dua orang anak ingusan yang hidup di sebuah kota tak berkembang??
Sampai sekarang rumahku masih di Murai, dengan keadaan kota yang tak berubah. Persis sama seperti aku masih SD dulu. Padahal kota Murai itu merupakan ibukota Kabupaten. Betapa tak meratanya pembangunan di negeri ini. Jika aku tidak melihat kota Bandung atau kota lainnya di pulau Jawa selama 20 tahun, tentu aku tak akan bisa mengenali lagi daerah itu. Tapi di Murai, kekhawatiran itu sungguh tak beralasan. Coba bayangkan, tidak ada pembangunan yang berarti selama 20 tahun?? Sungguh menyedihkan. Dan disanalah kampung halamanku.
Rimba terlahir di kota Murai. Tak perlu kuberi penjelasan lebih lanjut kenapa orang tuanya memberi nama Rimba. Barangkali karena ingin mengenang situasi kota tempat anaknya dilahirkan. Sebenarnya kakek dan nenek Rimba dari pihak mamanya tinggal tak jauh dari kota Murai, tepatnya di Tanjung. Kurang lebih 20 km di sebelah barat Murai. Tapi Papa Rimba orang Bukittinggi asli. Kota lama yang jauh lebih berkembang dibandingkan Murai. Jadi kupikir dia yang memberi nama Rimba. Sebagian besar orang yang tinggal di Murai adalah pendatang yang berprofesi sebagai PNS, seperti hal nya orang tuaku dan kedua orang tua Rimba. Bedanya orang tua Rimba Pejabat dan orang tua ku hanya guru SD.
Karena kota Murai sangat kecil, biasanya teman SD akan kau jumpai lagi di SMP dan bertemu kembali ketika kau melanjutkan ke SMA. Seperti itulah yang kualami selama ini. Tapi dengan Rimba sedikit berbeda, dia melanjutkan SMA di Padang, karena orang tuanya pindah tugas kesana. Pindah ke jabatan yang lebih tinggi tentunya.
Seringkali, ketika keluarganya mengunjungi nenek Rimba di Tanjung, dia menyempatkan diri menemuiku dan teman-teman yang lain di Murai. Suatu saat, ketika kami masih duduk di bangku kelas 1 SMA, aku dan Rimba terlibat suatu percakapan yang sampai saat ini masih kuingat.
“Gimana, kamu masih tetap juara kelas?”
Tanyaku ingin tahu. Rimba anak yang cerdas. Selama SD dan SMP dia selalu menduduki peringkat kelas, padahal aku tahu pasti dia sangat malas belajar, bahkan hampir tidak pernah terlihat memegang buku selain di kelas. Kerjaannya hanya main dan main. Mengerjakan tugas pun sering mencontek punyaku. Bukan karena aku juga pintar. Tapi, karena aku rajin. Selain itu dia juga jago olahraga. Rimba adalah kiper andalan kami sewaktu SD. Semasa SMP dia beralih ke tenis dan herannya dalam sekejap bisa memenangkan turnamen tenis antar pelajar.
“Oh, past..! Aku juara dari urutan belakang” jawabnya santai.
“Ha..ha… beneran Rim?” tanya ku tak pasti.
Dia serius atau bercanda?
“Wah akhirnya kamu bisa ngerasain jadi anak bodoh juga ya..”
“He eh” jawabnya acuh..
“Rim, kamu serius?” ulangku penasaran.
“Kalau kamu ngga jadi juara kelas sih aku bisa ngerti, tapi masa kamu diurutan penutup?”
“Beneran Tha, kayanya nanti aku pasti masuk IPS, nilai-nilai aku ngga cukup buat IPA”
“Masa sih?”
“Masasih-masasuh… beneran…” jawabnya dengan nada sedikit tinggi.
“Aku males banget Tha. Lagian sistem pendidikan dan pembangunan kita di Indonesia nih ngga merata banget. Cara belajar di Murai dan di Padang aja jauh berbeda. Aku dari kecil udah terbiasa ngga belajar di sini dan masih bisa jawab soal ujian, trus bisa dapat nilai bagus pula. Di Padang aku ngga belajar ya ngga bisa jawab soal ujian. Akukan jarang ngerjain tugas, jarang baca buku pelajaran. Aku cuma denger guru nerangin di kelas aja, itu pun malas nyatatnya. Kalau di sini, udah cukup buat bisa jawab soal ujian Tha. Tapi, kalau di sana belum bisa. Makanya nilai aku jeblok”
Rimba memberikan penjelasan panjang lebar. Tapi ditutup dengan pernyataan
“Barangkali ye....”
“Ya kamu belajar donk Rim.”
Saranku heran karena dia tahu pasti kenapa nilainya turun, tapi tidak berusaha memperbaikinya.
“Kamu kok jadi cerewet, Tha?” ujarnya dengan ekspresi kaget yang dibuat-buat.
“Aku males, aku kan ngga kaya Rinda” Rinda adalah kakak Rimba satu-satunya.
Umur mereka hanya berjarak dua tahun sehingga mereka berdua sangat akrab. Kak Rinda juga sangat cerdas. Dia saat ini sedang menghabiskan masa SMA di salah satu Boarding School swasta di Bandung, dengan beasiswa penuh dari pemerintah propinsi Sumatera Barat.
“Emang nilai Kak Rinda di SMA nya jelek juga?” tanyaku terkejut.
“Nilai Rinda jelek?”
Rimba balik bertanya padaku sambil membelalakkan mata, tak kalah terkejutnya.
“Kiamat dulu dunia, baru kali nilainya hancur…”
kemudian dia mengernyit tak suka mendengar komentarnya sendiri.
“Sempat turun sih katanya di ulangan pertama, tapi setelah itu bagus lagi, dia bilang dia harus mati-matian ngejar ketinggalannya Tha. Kamu bayangin aja, aku yang cuma pindah ke Padang bisa hancur seperti ini. Rinda pindahnya ke Bandung, pasti di sana standartnya lebih tinggi lagi.”
Mata Rimba sedikit menerawang ketika membayangkan kondisi Rinda.
“Yah, kan kamunya sendiri yang ngga mau kaya Kak Rinda, Rim. Kamu ngga mau ngejar ketinggalan kamu ” tuduhku.
“Biarin ah, aku udah cape jadi juara mulu…hehehe..”
“Gimana komentar Nyokap kamu liat nilai kaya gitu?"
Tanyaku penasaran sambil tak bisa menyembunyikan cengiran. Menurutku mama Rimba sangat bangga dengan nilai-nilai bagus yang diperoleh anak-anaknya. Berbeda dengan Mamaku yang hanya tamatan SMA, mama Rimba, seperti juga papanya adalah seorang Insinyur dan sangat peduli dengan pendidikan anak-anaknya. Bukannya mamaku tak peduli dengan pendidikanku, tapi mama tak pernah terlalu menuntutku untuk selalu memperoleh nilai bagus. Sepertinya mama mengerti kapasitas otakku. Setelah aku menjelaskan bahwa kepintaran seseorang itu dipengaruhi oleh gen, yang berarti kepintaranku diturunkan dari mama dan papa. Setelah itu mama tak pernah lagi membandingkan nilai-nilaiku dengan nilai-nilai Rimba dan Kak Rinda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar