Selasa, 23 Januari 2007

Lom Ada Judul....................(03/...)

by Cece

“Kemaren waktu aku minta beliin motor, Nyokap bilang ntar bakal dibeliin kalau nilai aku ngga ada yang merah… haha…. Trus aku bilang, mama ni aneh banget. Kemaren-kemaren waktu aku juara kelas ngga pernah dikasih iming-iming hadiah, sekarang mau dikasih motor kalau ngga ada angka merah. Standart nya turun banget…haha…”

“Ngga dapat motornya donk kamu?”

“Weiss.. siapa bilang.. . dapet lah…”

Rimba kembali tertawa penuh kemenangan..

“Dasar anak mama..” ujar ku sinis, yang menambah keras volume tertawa Rimba.

Kupikir mama Rimba benar, menyadari bahwa sebenarnya Rimba bisa memperoleh nilai bagus kalau dia mau berusaha. Buktinya Kak Rinda bisa tetap mempertahankan nilai-nilainya. Hubungan antara Rimba dan Kak Rinda sangat dekat. Rimba pun hanya memanggil nama Rinda tanpa embel-embel Kak. Rinda cantik dan pintar. Tetapi berbeda dengan Rimba yang memiliki tubuh tinggi dan atletis, Rinda hanya memiliki tinggi 156cm. Terkadang Kak Rinda lebih terlihat seperti adik Rimba. Sifat mereka berdua juga berseberangan.

Rimba, sesuai dengan namanya, dari jauh memberikan kesan seram dan misteri. Jika kita lihat dari dekat, rimba akan terlihat sejuk, menyenangkan untuk beristirahat dan mengundang kita untuk menjelajahi ke dalamnya. Dan ketika berjalan memasuki nya, maka kita akan menemukan berbagai hal mengejutkan yang tak terduga dan tak tergambarkan dari luar. Bisa menyeramkan seperti bertemu binatang buas, atau menemukan hal menyenangkan seperti sungai jernih yang mengalir didalamnya atau buah-buah hutan dan binatang lucu lainya. Begitu juga dengan pribadi Rimba. Jika sekedar melihatnya selintas, kebanyakan orang akan berpendapat bahwa Rimba keren. Rimba memang keren. Tidak dengan wajah ganteng, tapi gagah. Tubuhnya tinggi dan bagus karena hobi berolah raga. Alis bagus dan mata tajam. Senyumnya terkesan tak tulus dan terlihat setengah mengejek. Apapun pakaian yang dikenakannya, selalu terlihat pas dan gaya. Walaupun hanya mengenakan kaos dan jeans lusuh, tapi tidak terlihat berantakan, tetap terlihat stylish. Setelah mengobrol beberapa saat dengannya, maka kemungkinan besar kau akan berpendapat dia anak yang asik, ramah, tanpa beban, selalu santai dengan permasalahan yang dihadapinya, dan tidak terlalu memusingkan kehidupan. Tapi setelah bersahabat sekian lama, maka aku tidak akan merasa heran lagi jika menemukan sifat-sifat yang tidak pernah dieksposnya. Seperti sifat sensitif dan defensif nya jika berkaitan dengan masalah yang berhubungan dengan mamanya atau kak Rinda. Menurutku, hingga sekarang, dua wanita itu tetap menjadi orang-orang utama yang dicintai dan dipuja Rimba.

Seperti kebayakan orang yang selalu iri dengan rumput hijau tetangganya, seperti itu pulalah aku dan Rimba. Dimataku, keluarga Rimba adalah keluarga idaman. Kedua orangtuanya memiliki karir yang bagus, ekonomi mapan, anak-anaknya pintar, sepertinya memang tidak ada hal yang perlu mereka khawatirkan. Tapi menurut Rimba keluargaku lebih baik daripada keluarganya. Tentu saja pendapatnya itu bisa dimengerti, karena ibu ku tidak bekerja dan penghasilan ayah ku pas-pasan untuk hidup kami bertiga. Pantas saja dia iri.

Tapi sebenarnya bukan hal itu, melainkan kedekatan kami bertiga sebagai keluarga. Sementara dikeluarga Rimba, kedua orang tuanya sering bertengkar, bahkan didepan kedua anaknya. Terkadang kedua anak tersebut juga ikut ambil bagian pada pertengkaran keluarga itu. Menurut Rimba, lebih tepat disebut pertengkaran seluruh keluarga melawan Papanya. Cuma sampai disana komentar Rimba. Dia sangat tertutup tentang masalah keluarganya ini. Mungkin masih berharap keadaan bisa berubah.

Pernah suatu saat Rimba kelepasan berujar
“Kalau banyak orang yang menganjurkan orang tua yang bermasalah untuk jangan bercerai demi anak-anak mereka, aku bakal langsung ngajuin protes ke KOMNAS HAM atas nama anak dari orang tua bermasalah yang ngga bercerai. Lihat hasilnya jika orang tua bermasalah memilih ngga bercerai. Anak-anaknya yang menderita. Aku pikir kepribadian dan mental aku bakal lebih bagus kalau kedua orang tuaku bercerai. Sekurangnya aku bakal punya sedikit hormat sama bokap. Ngga kaya sekarang.”

Herannya Rimba menyatakan semua pendapatnya itu dengan sangat tenang, nyaris tanpa emosi. Hal yang justru membuat ku merinding, karena sepengetahuan ku dia sangat emosian dan temperamental.

Apalagi selanjutnya dia berujar,
“Berdosa ngga ya, kalau aku berdoa supaya Bokap cepet mati aja...”

Di titik ini aku hanya bisa terdiam dan tak tahu harus berkomentar apa. Mungkin wajah ku memucat karena tak bisa membayangkan akan ada seorang anak yang bisa mendoakan orang tuanya sendiri untuk meninggal. Dan Rimba, yang melihat keterkejutan ku, langsung tertawa lepas

“Ya ampun Bitha... kamu serius amat mukanya.... Gila kamu ya, nanggapin aku serius kaya gitu...”

“ Sial...sial...!!! Kamu ngerjain aku lagi ya... Serem tau... “

Aku langsung memukul lengan Rimba yang masih tertawa sampai memegang perut karena geli. Tapi sebenarnya hati ku masih ciut. Pernah dengar pepatah yang menyatakan bahwa saat yang paling jujur dari seseorang adalah saat dia bilang hanya bercanda???

2 komentar:

VAP mengatakan...

Whoaaa... baru sempat ol lagi. Lemot pula di warnet nih. Ga sempat baca tulisan lo smua nih...
Cerpennya buanyak amaaat... huehue..

- HQ - kiko - mengatakan...

sabar....sabar....:p
bukanya yang kategori cerpen aja :p